PT Info Sarana Medika (ISM) PERSI, PT Prodia Widyahusada Tbk serta PT UBC Medical Indonesia menyelenggarakan Webinar bertema Skrining Neonatus Untuk Generasi Emas Indonesia pada Sabtu (19/3). Kegiatan ini diikuti para pimpinan dan manajemen rumah sakit (RS), dokter spesialis anak dan patologi klinik, perawat anak serta bidan.
Direktur Bisnis dan Pemasaran PT Prodia Widyahusada Tbk Dr. Indriyanti Rafi Sukmawati, M.Si menyatakan pihaknya berinisiatif menyelenggarakan kegiatan ini untuk mendukung skrining bayi baru lahir atau neonatus sebagai upaya preventif. “Bayi diuji pada hari-hari pertama kehidupan mereka untuk menemukan bukti penyakit dimana gejala utama mungkin belum terlihat. Skrining bayi baru lahir diterapkan untuk semua bayi untuk menapis beberapa kelainan sebelum terjadi dampak yang lebih lanjut serta melakukan pengobatan untuk menanganinya,” kata Indriyanti.

Indriyanti juga menjelaskan, Laboratorium Prodia yang tersebar di seluruh provinsi telah berjejaring dengan RS dan menerapkan digitalisasi untuk meminimalisir kesalahan. “Kami bekerjasama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan UBC Medical Indonesia menyelenggarakan layanan skrining ini dan jika ditemukan hasil yang abnormal, kami telah bekerjasama IDAI untuk memberikan layanan tes konfirmasi gratis” kata Indriyanti.
Selanjutnya, kata Indriyanti, tes skrining abnormal juga harus diikuti pengujian diagnostik. Saat ini skrining kongenital pada bayi baru lahir yang tersedia di Prodia adalah TSH Neonatus (Hipotiroid Kongenital), G6PD (Defisiensi G6PD), serta 17-OH Progesteron Neonatus (Hiperplasia Adrenal Kongenital.

Bukti dari Komparasi Dua Anak Nara sumber yang dihadirkan, Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A, FAAP, FRCPI dalam topik paparan berjudul Skrining Neonatus untuk Masa Depan Generasi Emas Indonesia menyatakan dalam kegiatan skrining belum optimal di Indonesia.”Butuh dukungan dari semua pemangku kepentingan dan kebijakan politis untuk mengoptimalkan skrining yang jumlahnya ratusan dan kini diwajibkan Kementerian kesehatan yaitu Hipotiroid Kongenital,” ujar Aman.
Aman menunjukkan contoh kasus pertama, anak dengan Hipotiroid Kongenital ini pendek, wajahnya lebar dan IQ nya 37 serta mengalami global delay. Sementara, pada kasus kedua, anak yang juga Hipotiroid Kongenital dideteksi sejak lahir dan memulai pengobatan pada usia 14 hari sehingga IQ 124 dengan tinggi normal.
“Ini kita lihat perbandingan pada dua kasus yang sama, ini karena diagnosisnya terlambat sehingga 1Q anak dengan kondisi itu 25 hingga 80,” kata Aman tentang prosedur teknis skrining yang menggunakan sampel darah yang diambil dari telapak kaki bayi.
Aman menegaskan, berdasarkan riset pada 651 anak yang dilakukan klien, penanganan Hipotiroid Kongenital jika dilakukan pada rentang 0 hingga 3 bulan, kemungkinan anak memiliki IQ lebih dari 85 mencapai 78%, 3 hingga 6 bulan sebanyak 19% dan setelah 7 bulan 0%. “Jadi skrining ini penting, cut off-nya 14 hari, itu pun sudah terlambat seharusnya begitu lahir.”
Riset lainnya yang dilakukan pada 2019 oleh peneliti Belanda tentang pasien Hipotiroid Kongenital, karena di negeri itu sendiri sudah tidak ditemukan penderitanya, menemukan fakta bahwa 96% menderita keterlambatan perkembangan dan 72% mengalami disabilitas intelektual.
Menjawab pertanyaan moderator Prof. DR. Dr. Rinawati R,SpA(K), tentang perkembangan terkini skrining neonatus, Aman menjelaskan, kendati telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan sejak 2014, skrining Hipotiroid Kongenital masih belum dibiayai negara, berbeda dengan negara maju seperti Belanda, Jepang dan Singapura yang menjadi bagian dari program nasional.
“Di Indonesia, dengan angka 2020, skrining bahkan mencapai dibawah 2%, angkanya tak jauh beda dengan 2012 yang juga masih di 2%. Targetnya bisa ditetapkan 10% dari 5 juta neonatus, Vietnam bahkan sudah 40% loh. Jadi sekarang ini skrining bisa dilakukan semua pihak, negara maupun swasta untuk meningkatkan cakupan skrining. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk anak-anak Indonesia,” kata Aman.
Aman menegaskan 4 RS yang ditugaskan melakukan skrining yaitu RS dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, RS Dr Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Dr. Sardjito Yogyakarta dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya, sebaiknya tetap diiringi langkah serupa oleh RS-RS lain, termasuk yang dilakukan laboratorium seperti Prodia. “Ini harusnya jadi niat baik bersama, seharusnya harus didukung juga selain oleh sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga klaim antara RS dengan laboratorium.”

Rinawati juga mengkonfirmasi biaya skrining Hipotiroid Kongenital kepada pihak Prodia yang ternyata hanya Rp95 ribu. “Biaya yang sangat terjangkau, dengan prosedur yang sangat mudah, hanya setitik darah yang dimasukkan dalam sejenis amplop dengan tiga lingkaran untuk menempatkan sampel darah. Investasi yang sangat murah dan mudah, semoga ke depannya bisa ditanggung negara.”
Penanganan Terlambat, Masa Depan Terhambat Pemaparan selanjutnya disampaikan Prof. dr. Rahajuningsih Dharma Setiabudy, SpPK(K), pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara dengan topik Peran Pemeriksaan Laboratorium untuk Skrining Neonatus.
“Bayi 48 hingga 72 jam diharapkan diskrining minimal Hipotiroid Kongenital, jika hasilnya abnormal bisa dilakukan tes konfirmasi. Jika hasilnya memang hasilnya memang abnormal, maka dokter anak
akan melakukan intervensi berupa nutrisi. Ini adalah bentuk major achievement dari preventive medicine sementara diagnosis yang terlambat mengakibatkan severe outcome.”
Prosedur skrining ini, kata Rahajuningsih, di Indonesia dilakukan sejak 2000, awalnya di RSCM dan RSHS Bandung. Kementerian Kesehatan sendiri mengatur melalui Permenkes No.78 Tahun 2014 tentang Skrining Hipotiroid Kongenital, pun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia No.: 09/Rek/PP IDAI/07/2014 tentang skrining hipotiroid kongenital pada semua bayi baru lahir.

“Hipotiroid Kongenital mengakibatkan retardasi mental/kerusakan otak atau anemia hemolitik kronis, pada umumnya bayi baru lahir belum menunjukkan gejala sehingga harus diperiksa melalui darah. Akibat buruk dari penyakit tersebut dapat dicegah dengan pemberian obat, menghindari zat oksidatif atau dengan nutrisi khusus. Kelainan mental ini paling sering dapat diobati. Prevalensi kasus ini 1 diantara 3.000 4.000 bayi.”
Jika tidak diatasi pada awal kelahirannya, anak-anak dengan Hipotiroid Kongenital akan terlihat kuning, wajah terlihat bengkak, dahi lebar, lidah besar dengan suhu tubuh yang dingin. “Program skrining ini melibatkan banyak pihak mulai RS, bidan, perawat, laboratorium, dokter anak
endokrinolog, hematolog, serta nutrisionis. Untuk keberhasilan program diperlukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, khususnya calon orang tua.”
Di Inggris, bahkan ketika ditemui hasil yang mencurigakan, kata Rahajuningsih dalam sesi diskusi, skrining bisa dilakukan hingga tiga kali untuk memastikan deteksi dini bisa ditegakkan.

Idealnya, Semua Bayi Menjalani Skrining Sementara, pada sesi selanjutnya, Sekretaris Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Tri Hesty Widyastoeti, Sp.M, MPH dalam paparannya yang berjudul Pentingnya Peran RS dalam Menyukseskan Program Skrining Neonatus menyatakan hingga kini baru kelainan
Hipotiroid Kongenital yang telah dinaungi Permenkes, padahal selain itu ada pemeriksaan oksimetri untuk mendeteksi kelainann jantung, gangguan penglitan yaitu pemeriksaan retina mata pada bayi
prematur serta deteksi gangguan pendengaran dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission.
“Idealnya memang skrining dilakukan secara lengkap pada neonatus,” kata Tri Hesty. Mengupas tentang peran manajemen RS dalam pelaksanaan skrining, Tri Hesty mengakui bahwa belum seluruhnya pimpinan RS yang memiliki visi mengoptimalkan pelayanannya, termasuk melakukan upaya preventif.
“Sebetulnya tidak ada yang sulit, harus ada will, kemauan untuk
menggerakkan seluruh tim dan layanan. Namun, saat ini memang terjadi, bayi yang lahir normal belum dilakukan skrining, begitu lahir nggak diapa-apain, harusnya di skrining dan masuk pembiayaan BPJS Kesehatan,” kata Tri Hesty.
Tri hesty menegaskan, regulasi hanya untuk skrining hipotiroid harus ditegakkan sehingga skrining wajib dilakukan secara rutin dan masuk dalam sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Kesuksesan program skrining juga masih memerlukan advokasi dari organisasi profesi dan asosiasi kepada para stakeholder utama dalam hal regulasi pembiayaan.
“Menjawab pertanyaan tentang skema JKN yang saat ini berlaku untuk skrining, Tri Hesty menjelaskan saat ini ditanggung jika masuk dalam kondisi tertentu. “Saat ini yang berlaku sistem paket, misalnya bayi prematur. Padahal ongkos untuk preventif ini jauh lebih kecil dibandingkan biaya penanganan jika terlambat.” (IZn – persi.or.id)