Sebanyak 400 peserta mengikuti Webinar Pembaruan tentang Infeksi Helicobacter pylori (H. pylori) di Indonesia. Mereka berlatar belakang profesi Gastroenterolog, Spesialis penyakit infeksi, Patolog klinis, serta dokter umum dari berbagai rumah sakit.
Acara itu diselenggarakan pada Sabtu, 7 Desember 2024 melalui Zoom serta YouTube @PersiPusat. Para peserta yang mengikuti kegiatan ini secara tuntas mendapatkan 3 SKP Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Webinar ini bertujuan mengedukasi profesional kesehatan untuk membahas pembaruan, tantangan, dan strategi dalam mengelola infeksi H. pylori di Indonesia. Kami berharap dengan dukungan berbagai pihak, forum edukasi seperti ini bisa diselenggarakan secara rutin,” kata Wakil Ketua I Pengurus Pusat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dr. Koesmedi Priharto, Sp.OT saat membuka acara.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes dr. Ina Agustina Isturini, M.K.M menjelaskan, penyakit menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh mikroorganisme. “Sementara, tujuan penanggulangan penyakit menular adalah melindungi masyarakat, mengurangi angka kesakitan, disabilitas, dan/atau kematian, serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular,” kata dr. Ina.
dr. Ina menjelaskan, secara global, 4,4 juta orang terinfeksi Helicobacter pylori, berdasarkan data Advanced Gut and Microbiome Research pada 2023. Infeksi H. pylori memiliki prevalensi tinggi di banyak daerah seperti di Afrika dan Asia Timur yang dilaporkan masing-masing sebesar 79,1% dan 56,1%. Indonesia dilaporkan memiliki prevalensi infeksi H. pylori yang rendah dibandingkan dengan negara
lain di Asia yaitu 22,1% .
“Helicobacter pylori adalah patogen manusia yang paling sukses dan berhubungan dengan dispepsia dan dikaitkan dengan berbagai penyakit, termasuk gastritis kronis, tukak lambung, limfoma jaringan limfoid terkait mukosa lambung, dan kanker lambung.”
Transmisi utama, lanjut dr. Ina melalui fecal oral. Saat ini, jenis infeksi tersebut belum masuk dalam penyelenggaraan surveilans rutin. “Upaya penanggulangannya mengacu pada kebijakan upaya penanggulangan penyakit menular dengan mengutamakan preventif dan promotif.”
Narasumber berikutnya, Prof. Murdani Abdullah, MD, PhD, FACG, FASGE menjelaskan, pemeriksaan H. pylori dapat dilakukan secara noninvasif melalui urea breath test serta invasif dengan endoskopi. “Urea breath test merupakan gold standard untuk pemeriksaan noninvasif,” kata Prof. Murdani.
Lebih lanjut, Prof. Murdani menegaskan, pemeriksaan H. pylori perlu dilakukan sebagai langkah awal eradikasi infeksi H. pylori guna memperbaiki gejala dispepsia dalam jangka panjang. “Terdapat beberapa kondisi yang menjadi indikasi pemeriksaan tes H. pylori yaitu Ulkus peptikum/duodenum, Gastric MALT lymphoma, riwayat reseksi endoskopi pada kanker gaster, pasien dispepsia <55 tahun yang belum dilakukan investigasi dan tidak ada alarm symptoms, dispepsia fungsional, riwayat penggunaan aspirin dosis rendah dan NSAID jangka panjang, anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, pasien idiopathic thrombocytopenic purpura, serta riwayat GERD dengan penggunaan PPI jangka panjang.”
Terdapat fakta menarik yang diungkapkan Prof. Murdani, yaitu pemeriksaan infeksi H. pylori pada etnis Papua, Batak, Bugis memiliki risiko infeksi H. pylori lebih tinggi dibanding etnis Jawa dan Dayak. Berdasarkan riset yang dilakukan pada 2015.
Sementara Prof. Dr. Aryati,dr, MS, Sp.PK(K) menjelaskan persiapan urea breath test, di antaranya, puasa 4 jam, tidak merokok 2 jam sebelum tes, serta tidak mengkonsumsi antibiotik sekurangnya 4 jam sebelum tes.
“Tes ini dapat dilakukan untuk diagnosis infeksi H. pylori serta monitoring terapi (eradikasi H.pylori minimal 4 minggu setelah terapi.” kata Prof. Aryati. (IZn – persi.or.id)