Bondowoso – Dua anak yang kecanduan gawai dan laptop, hingga mengalami guncangan jiwa kini dirawat di Poli Jiwa RSUD dr Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur. Satu pasien siswa SMP dan siswa SMA itu mengalami kecanduan parah, bahkan salah satunya membentur-benturkan kepalanya ke tembok ketika sangat ingin menggunakan gawai, namun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
“Kami meyakini kasus dua siswa itu hanya yang tampak di permukaan. Masih banyak anak lainnya yang mengalami hal serupa, namun orang tua mereka enggan membawa anaknya ke RS atau justru kurang menyadari masalah yang sedang dihadapi si anak,” kata dokter spesialis jiwa RSUD Koesnadi dr Dewi Prisca Sembiring, Sp.Kj, belum lama ini.
Dewi memaparkan, pihaknya terus melakukan sosialisasi agar masyarakat semakin tahu bahwa RSUD Bondowoso kini juga merawat pasien dengan masalah kejiwaan. “Kami terus melakukan sosialisasi, termasuk melalui dokter-dokter umum dan paramedis di seluruh puskesmas di Bondowoso, juga Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Pemkab Bondowoso juga sekolah,” kata Dewi.
“Masalah kejiwaan ini tidak identik dengan gila, tapi mereka yang mengalami tekanan dan lainnya. Mereka perlu perawatan, tidak usah malu, termasuk kami sosialisikan informasi bahwa pasien ini juga bisa dicover BPJS,” kata Dewi.
Dewi mernjelaskan, dari data yang dia kumpulkan, anak-anak yang kecanduan gawai dan game itu awalnya tidak disadari orang tuanya. Mereka baru menyadari setelah si anak jarang masuk ke sekolah dan pretasi akademiknya terus menurun.
Ketika dibawa ke poli jiwa, dokter menemukan, awalnya anak sangat dekat dengan gadget dan laptop karena tugas-tugas sekolah. Hampir semua tugas-tugas sekolah menggunakan peranti laptop dan gadget, sehingga si anak kemana-mana membawa laptop. Kecanduan terjadi ketika intensitas penggunaan menjadi tidak terkontrol dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
“Hasil psikotest terhadap salah seorang anak menunjukkan, pasien itu telah mengidentifikasi dirinya sebagai pembunuh. Sementara orang yang paling dibencinya adalah orang tuanya yang dianggap sebagai penghalang untuk berhubungan dengan laptop dan gawai,” ujar Dewi.
Kabar baiknya, lanjut Dewi, penanganan yang diberikan mulai memperlihatkan dampa positif. Salah stau metode penanganan yang diberikan adalah terapi realita. “Saya ajak si anak untuk melihat pasien dengan gangguan jiwa akut atau psikotik. Saya bilang pada anak itu, kalau kamu tidak mau melepaskan diri dari game, lama-lama menjadi seperti mereka yang menderita psikotis itu. Dia kemudian terdiam dan saya suruh peluk ibunya. Akhirnya pikiran dia tentang gadget atau laptop berubah,” katanya.
Dewi menegaskan, kasus dua anak itu hendaknya menjadi peringatan bagi semua orang tua dan pemangku kepentingan di sekolah agar anak-anak betul-betul mendapatkan perhatian. Isilah keinginan anak-anak dengan dukungan positif, bukan dengan jalan pintas, memberikan gadget untuk membuat mereka senang.
“Kita harus isi hati anak-anak itu dengan yang nyata, yaitu kita sebagai orang tua, bukan dengan yang tidak nyata di gadget.”
Dewi memaparkan, secara psikologis, anak-anak itu mencari kesenangan hati di perangkat teknologi informasi karena tidak mendapatkan itu dari lingkungan sekitarnya, khususnya orang tua. (IZn – pdpersi.co.id)