PERSI Paparkan Kondisi Perumahsakitan Terkini dalam RDPU Badan Legaslatif DPR

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menghadiri Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Legislasi (Baleg) dalam rangka Penyusunan RUU tentang Kesehatan. Selain PERSI, juga diundang Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi Indonesia) dan Perhimpunan Pengusaha Klinik Indonesia (PERKLIN).

Rapat dipimpin Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas. “Pada prinsipnya, baik pemerintah atau parleman sebagai lembaga pembentuk undang-undang menghendaki Rancangan Undang-Undang tengang Kesehatan ini menjadi arsitektur kesehatan nasional. Prinsipnya, parlemen dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk undang-undang, bersama membuat arsitektur kesehatan nasional,” papar Supratman di ruang rapat Baleg, Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (15/11/2022).

Supratman menjelaskan, berkaca dari sistem kekuangan yang dunia yang ada standar baku dan protokolnya, maka alangkah baiknya dalam sitem kesehatan pun dibantuk protokol yang jelas. “Karena arsitekur kesehatan kita tidak sama dengan arsitekur keuangan dunia yang berlaku. Dalam institusi keuangan ada protokol yang jelas. Nah ini yang belum kita punya. Membentuk sebuah lembaga yang persis sama di bidang keuangan,” ungkap Supratman.

Ia memberikan contoh, di bidang keuangan ada komite kebijakan sektor keuangan, yang anggotanya dari otoritas fiskal dan otoritas moneter, kemudian ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Supratman, nanti dalam bidang kesehatan punya hal yang sama.

“Kita akan membentuk komite kebijakan sektor kesehatan. Sehingga nanti kalau terjadi hal yang sama seperti yang kita alami pada 2019 sampai hari ini, kita sudah punya jalan keluar. Sehingga koordinasi di antara para penggambil kebijakan bisa lebih tepat dan cepat dilakukan,” jelas Supratman.

Wakil Ketua 3 Bidang Kelembagaan dan Kerjasama PERSI Dr. Koesmedi Priharto, Sp.OT, M.Kes yang mewakili PERSI menyatakan berbagai tantangan dan harapan kalangan perumahsakitan, di antaranya implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang pada satu sisi mendukung RS-RS swasta untuk berdiri dan beroperasi di lokasi-lokasi yang belum terjangkau RS pemerintah. Namun, di sisi yang lain, tarif JKN yang belum disesuaikan dengan situasi terakhir membuat RS kesulitan serta mempengaruhi layanan yang diberikan pada pasien.

“Misalnya ketika ada keluhan yang seharusnya bisa diatasi dengan tindakan laparoskopi yang minimal invasif, namun karena tarif JKN belum mengakomodir, RS akan memilih melakukan tindakan bedah yang risiko dan luka yang ditimbulkan sebenarnya lebih besar,” kata Koesmedi.

Menanggapi paparan PERSI, Supratman menyatakan akan mendalami berbagai isu yang diungkapkan para pemangku dunia kesehatan. “Termasuk masukan dari asosiasi RS serta kenaikan tarif yang berhubungan dengan BPJS. Kalau komite kebijakan sektor kesehatan ini bisa menjadi sebuah wadah untuk mempercepatan pengambilan keputusan di bidang kesehatan itu akan membantu semua stakeholder kesehatan. Nah itu cita-cita besarnya,” ungkap Supratman. (IZn – persi.or.id)