Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyelenggarakan Webinar bertema Kajian PMK 1787 Tahun 2010 – Quo Vadis PMK 1787 Tahun 2010: Bagaimana Pengaturan Iklan & Publikasi RS yang Sesuai dengan Kebutuhan & Situasi Saat Ini? pada hari ini, Sabtu, 28 Januari 2023.
Webinar dibuka Wakil Ketua Umum III Pengurus Pusat PERSI Dr. R. Koesmedi Priharto, SpOT, M.Kes yang menyatakakan periklanan masih menjadi isu yang hangat di kalangan perumahsakitan. “Karena saat ini sudah masuk digitalisasi. Acara pagi ini merupakan kali pertama diskusi tentang iklan rumah Sakit (RS) dibahas dari sisi hukum serta penyiaran. Saat ini iklan mulai publikasi hingga informasi layanan kesehatan sangat luas cakupannya sehingga semua aspeknya, termasuk aspek hukum dan etika perlu diperjelas,” kata Koesmedi.

PERSI, kata Koesmedi berinisiatif menyelenggarakan Webinar ini untuk menghasilkan usulan terhadap perbaikan regulasi agar mengakomodir perkembangan terkini, terutama kaitannya dengan digitalisasi. Koesmedi juga menyoroti banyaknya iklan layanan kesehatan di luar negeri yang gencar berpromosi kepada khalayak lewat media sosial. “Diperlukan counter karena ada beberapa yang informasinya yang tidak benar, hingga saat ini belum jelas siapa yang harus melakukan counter,” kata Koesmedi.
Koesmedi menyatakan, berbagai isu terkiat iklan dan publikasi ini akan diikuti beberapa diskusi mendalam yang akan disalurkan kepada Kementerian Kesehatan. Targetnya, regulasi yang mendukung RS, melindungi pasien sekaligus mendukung perkembangan industri perumahsakitan.
Sementara, Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan (Setditjen Yankes) dr. Sunarto, M.Kes menegaskan regulasi menetapkan, fasilitas pelayanan kesehatan yang dimiliki Pemerintah maupun swasta boleh memasang iklan dan/atau publikasi pelayanan kesehatan melalui media cetak, media elektronik, maupun media luar ruang dalam bentuk berita, banner, tulisan berjalan, artikel, atau features.
“Kajian tentang iklan dan publikasi ini erat kaitannya dengan penugasan dari Menteri Kesehatan yang meminta kami melakukan kajian mengapa masih banyak pasien yang pergi berobat ke luar negeri,” kata Sunarto.

Sunarto juga menjelaskan bahwa Kemenkes juga mendorong RS untuk melakukan branding dan marketing baik itu pada RS swasta maupun pemerintah vertikal. “Kami mendukung RS yang menjadi pusat rujukan kanker nasional, pusat layanan jantung. Harus melakukan branding, itu juga kami dorong agar RS di daerah agar melakukan branding diikuti marketing. Tujuannya agar masyarakat tahu,” kata Sunarto.
Iklan dan publikasi itu, sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No.1787/Menkes/Per/XII/2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan, kata Sunarto, harus memenuhi ketentuan yaitu memuat informasi dengan data dan/atau fakta akurat, berbasis bukti, informatif, edukatif, bertanggung jawab, wajib mencantumkan nama dan alamat fasyankes serta tanggal publikasi.
Sebaliknya, iklan dan publikasi itu tidak diperbolehkan memuat informasi yang tidak benar, palsu, bersifat menipu dan menyesatkan, membandingkan atau mencela mutu antar fasyankes, membuat pernyataan yang bersifat superlatif, mempublikasikan metode, obat, alat/ teknologi baru belum terbukti, yang masih diragukan oleh dunia kedokteran atau masyarakat kesehatan, mengiklankan fasyankes atau nakes yang tidak berlokasi di Indonesia, mengiklankan fasyankes atau nakes yang belum berizin, mengiklankan promosi penjualan dalam bentuk apapun termasuk pemberian diskon, imbalan atas pelayanan, metode penjualan MLM serta memberikan testimoni dalam bentuk iklan atau publikasi di media massa.
“Jadi tidak boleh menjanjikan kesembuhan, bayi tabung pasti jadi. Karena kan ada persentase, harus berbasis bukti.”

Pembicara lainnya, Ketua Kompartemen Humas & Pemasaran PERSI Anjari Umarjiyanto, S.Kom, SH, MARS menyatakan perkembangan terkini industri perumahsakitan menunjukan fenomena adanya kerja sama RS dengan
buzzer, influencer, endoser serta harus berhadapan dengan perubahan perilaku konsumen yang kini erat dengan kegiatan melakukan review, rating serta recommendation. Fenomena lainnya, bagaimana pegawai dan dokter juga aktif di media sosial, bahkan follower-nya sangat signifikan.
“Untuk itu pembahasan tentang isu tentang iklan dan publikasi ini akan ditindaklanjuti dengan berbagai diskusi lanjutan yang hasilnya akan kami sampaikan ke Kementerian Kesehatan.” (IZn – persi.or.id)