Jakarta – Upaya penghematan yang dilakukan BPJS Kesehatan dengan pembatasan layanan berpotensi menyebabkan kerugian lebih besar dalam jangka panjang bagi bangsa Indonesia. Kebijakan efisiensi yang dimaksudkan mengurangi Rp388 miliar defisit itu dinilai tidak sepadan dengan dampak yang ditimbulkannya.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prof Ilham Oetama Marsis mengatakan hal itu di Jakarta, baru-baru ini, terkait terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 3 tentang Persalinan Bayi Baru Lahir Sehat.
“Aturan ini berpotensi menyebabkan bayi lahir dengan kecacatan atau penyakit komplikasi. Aturan tersebut mengubah paket pelayanan dengan tidak memasukan berbagai sarana untuk pencegahan pada persalinan bayi berisiko. Anak yang terlahir cacat atau memiliki penyakit komplikasi, sesungguhnya membutuhkan perawatan dan biaya kesehatan yang juga dibiayai oleh BPJS Kesehatan,” ujar Ilham.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr dr Aman Bhakti Pulungan Sp.A(K). “Aturan tersebut juga berpotensi meningkatkan angka kekerdilan atau stunting karena bayi yang terlahir cacat atau dengan penyakit komplikasi. Anak lahir cacat, segala macam bisa terjadi, gampang infeksi, pertumbuhan terganggu, sehingga angka stunting akan meningkat,” kata Aman.
Terkait aturan BPJS lainnya yang juga memicu kontroversi, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 2 tentang Pelayanan Katarak, kata Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia Dr Johan Hutauruk Sp.M(K), berpotensi meningkatkan angka kebutaan di Indonesia. Aturan baru itu menyebutkan, BPJS Kesehatan hanya menjamin pelayanan operasi katarak dengan syarat visus atau ketajaman penglihatan pasien 6/18 yang dikategorikan sebagai buta sedang. (IZn – persi.or.id)