Jakarta – Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan tumpukan limbah medis di rumah sakit (RS) seluruh Indonesia mencapai 8.000 ton. Limbah-limbah medis itu tertumpuk di banyak RS pasca penertiban insenerator RS yang dinilai tidak memenuhi syarat.
Langkah sejumlah RS menyerahkan limbah RS untuk diolah pihak ketiga pun, ternyata harus terhenti pasca penemuan limbah medis di tempat pembuangan sampah umum, bahkan di jalanan di Cirebon, Jawa Barat. Sampah berupa kantong infus hingga tabung berisi darah itu tertumpuk dan terserak begitu saja dan menyita perhatian media massa serta sorotan publik.
“Setelah itu, sekitar awal 2017, RS-RS mengalami rentetan masalah, harus menghentikkan kerja sama dengan transporter atau pihak pengangkut yang nakal atau justru pihak pengelola limbah yang ternyata tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Sampah medis pun menumpuk dan beberapa RS dipanggil polisi, KLHK dan berurusan dengan hukum. Di satu sisi, sampah infeksius itu menumpuk di RS,” ujar Dr.dr.Lia G Partakusuma, Sp.PK, MM, MARS, Ketua Kompartemen Manajemen Penunjang PERSI, yang juga Direktur Penunjang Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta.
Lia mengungkapkan hal itu dalam rapat Darurat Limbah Medis di sekretariat Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, kemarin. Rapat itu dihadiri perwakilan dari Kementrian Kesehatan serta kalangan perumhasakitan, diantaranya RS Dharmais, RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati serta RS Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Selian itu, diikuti secara langsung melalui Webinar, diantaranya oleh anggota PERSI Jawa Timur serta RSUD Kota Bandung. Sementara, dari KLHK diwakili Edward Nixon dari tim Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 (PKPLB3) KLHK.
“Jika data PERSI mengungkapkan lebih dari 200 ton, kami memperkirakan tumpukan itu mencapai 8.000 ton dari seluruh Indonesia,” ujar Nixon.
Lia mengungkapkan, pihaknya menyakini bahwa kalangan perumahsakitan telah berupaya semaksimal mungkin mematuhi regulasi, baik yang diatur Kementrian Kesehatan maupun KLHK, terkait pengelolaan limbah medisnya. RS-RS yang tidak memiliki insenerator maupun yang fasilitas pembakarannya itu tak memenuhi syarat pun telah menempuh langkah menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pengangkutan atau transporter maupun pengolahannya.
“Sehingga temuan limbah medis di Cirebon, kami yakini berpangkal pada kenakalan pihak transporter atau pengelola limbahnya, karena kami telah membayar dan menandatangani surat kesepakatan dengan pihak ketiga sesuai persyaratan,” ujar Lia.
Pihaknya, kata Lia, menyambut positif keputusan KLHK yang memberikan solusi darurat penunjukkan pabrik semen untuk menlakukan pemusnahan limbah medis selama enam bulan ke depan. Kendati, hingga kini solusi yang disepakati dengan pabrik semen pada Selasa (3/4) itu belum bisa dieksekusi menunggu penandatanganan Keputusan Mentri LHK.
“Pada kesemapatan ini, kami juga mengajukan opsi lain, apakah memungkinkan RS yang memiliki insenerator dan sudah dinyatakan layak, dan bersedia membantu RS lain diberikan izin. Kami kira itu solusi terbaik karena RS Cipto Mangunkusumo yang kini sampahnya menumpuk hingga 24 ton dan sebenarnya siap dibantu RSPAD Gatot Soebroto dan RSPI Soelianto Saroso,” ujar Lia.
Menanggapi usulan PERSI tersebut, Nixon menyatakan, hingga kini langkah kontegensi atau darurat penanganan limbah medis yang ditawarkan KLHK baru sebatas pemusnahan di pabrik semen. Sementara, payung hukum yang memungkinkan dikresi atas aturan yang melarang RS mengolah limbah dari RS lainnya, belum diputuskan. (IZn – pdpersi.co.id)