Jejak sektor kesehatan, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membangun regulatory sandbox dalam mengembangkan regulasi di bidang digitalisasi dapat diterapkan kementerian dan lembaga lain. Regulatory sandbox yang telah dipraktikkan di bidang kesehatan memungkinkan para pelaku digitalisasi, termasuk Kemenkes mempelajari lebih dalam inovasi teknologi digital yang berkembang sangat pesat. Situasi ini mengharuskan regulator lebih adaptif dengan fenomena tersebut.
Demikian diungkapkan Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi Kesehatan sekaligus Chief of Digital Transformation Office (DTO) Kemenkes Setiaji dalam acara Diseminasi Regulatory Sandbox untuk Penguatan Ekosistem Digital: Pembelajaran dari Inovasi Digital Kesehatan di Jakarta.
Setiaji menyatakan, berkaca dari praktik serupa di negara lainnya regulatory sandbox dapat menjadi metode yang efektif dalam mengembangkan regulasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. Regulasi yang dibangun diupayakan menjamin perlindungan pengguna serta mendukung keberlanjutan dan dampak positif yang dihasilkan dari inovasi tersebut.
“Kemenkes sendiri menjadi kementerian pertama yang menerapkan regulatory sandbox dalam merespons perkembangan inovasi digital kesehatan di Indonesia, khususnya pada klaster telekesehatan sejak 3 April 2023 lalu,” kata Setiaji.
Sementara Ketua Tim Kerja Layanan Ekosistem dan Inovasi Digital Kesehatan dari Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) Kemenkes drg. Rudy Kurniawan menjelaskan, hasil dari proses regulatory sandbox Klaster telekesehatan ini menjadi dasar dalam mempersiapkan solusi dari sejumlah potensi risiko yang ada. Dari proses uji dan rekomendasi yang telah dilakukan, terdapat 12 isu yang terpetakan dan harus diperhatikan dalam praktik telekesehatan. Di antaranya terkait standar keamanan data, kualifikasi, mutu pelayanan, hingga keselamatan pengguna.
Hal senada diungkapkan Legal Specialist dari DTO Kemenkes Andri Setya Nugraha yang menyatakan, salah satu temuan penting yang didapatkan terkait bagaimana jaminan mutu layanan yang diberikan oleh penyelenggara telekesehatan kepada penggunanya. “Misalnya, praktik telekonsultasi, belum ada aturan atau standar berapa banyak pasien yang dapat ditangani oleh satu dokter, karena kita temukan satu dokter yang menangani beberapa pasien sekaligus. Berbagai temuan yang didapatkan dari proses regulatory sandbox ini telah tercatat dan menjadi basis bukti dan pembelajaran dalam proses penyelarasan dalam penyusunan regulasi ke depan, khususnya terkait telekesehatan.”
Praktik serupa juga diungkapkan Minister-Counsellor Development dari Kedutaan Besar Inggris Jakarta, Amanda McLoughlin. “Saat ini hanya ada 17 negara yang memiliki aturan jelas mengenai layanan telemedisin. Akibatnya, muncul ketidakpastian yang berdampak pada pertumbuhan industri, serta memengaruhi kepercayaan publik terhadap jaminan keamanan layanan tersebut. Regulatory sandbox dapat menjadi solusi atas masalah ini dengan menyediakan ruang aman untuk menguji inovasi di bawah pengawasan pemerintah. Metode ini menjadi sebuah terobosan baru dalam pembuatan regulasi yang sesuai dengan perkembangan industri yang ada.”
Pengembangan regulatory sandbox Kemenkes merupakan hasil kerja sama dan dukungan dari Kedutaan Besar Inggris Jakarta, Think Policy, dan Instellar Indonesia sebagai mitra. “Melalui kemitraan pemerintah Indonesia dan Inggris ini menghasilkan komitmen untuk saling berkolaborasi memperkuat sistem dan perkembangan inovasi digital kesehatan yang berkelanjutan. Salah satunya melalui implementasi regulatory sandbox di sektor kesehatan.” (IZn – persi.or.id)