Bukan Cuma Lolos dari Tekanan Pandemi, Namun Kian Optimistis

Rumah Sakit (RS) Mayapada Jakarta Selatan bukan cuma istimewa karena lokasi dan gedungnya yang premium tapi setia melayani pasien BPJS Kesehatan, namun juga berbagai terobosan yang dilakukan untuk bertahan dalam kondisi pandemi.

Berikut wawancara persi.or.id dengan Direktur Utama RS Mayapada Jakarta Selatan dr. Benny H. Tumbelaka, SpOT, MHKes, SpKP, MARS di ruang kerjanya.

Bagaimana kondisi terkini RS yang Anda pimpin dalam situasi Covid-19 saat ini?
Kami di sini membuka tower 2 yang dikhususkan untuk pasien Covid-19, yaitu lantai 9, 10, 11,12, 15. Sebanyak lima lantai ini didedikasikan untuk perawatan khusus pasien Covid-19. Pada waktu yang lalu kan sempat ditutup 2 lantai, pada April 2021, hampir sebulan, karena sudah menurun. Tapi, begitu masuk akhir Mei, sudah mulai nampak peningkatan sehingga kami buka kembali.

Saat kami sempat tutup dua lantai itu, mendekati lebaran kecenderungannya membaik, vaksinasi juga sudah jalan dan berhasil, meskipun vaksinasi seperti yang kita tahu, bukan segalanya. Kami tutup, freeze dua lantai itu, tenaga kesehatannya mulai kita masukkan ke tower 1 yang nonCovid-19 yang pasiennya mulai
meningkat.

Tiba-tiba akhir Mei itu mulai lagi pasien Covid-19 meningkat sedikit demi sedikit. Kami pun membuka perawatan Covid-19 di area calon tower 3, ruangannya semi permanen, untuk isolasi fasilitasnya memadai. Tambahan fasilitas itu kami buat setelah melihat kecenderungan kasus di negara-negara lain seperti Malaysia dan Filipina meningkat serta perkembangan di Sumatera dan Kudus, Jawa Tengah.

Sehingga kami memutuskan harus tetap membuat tambahan fasilitas. Sebelumnya pihak Kementerian Kesehatan memang meminta Dato’ Sri Prof. Dr. Tahir, MBA pemilik RS juga grup Mayapada, sehingga segera kami persiapkan. Yang dirawat di sini sekarang kategori sedang dan berat, yang ringan sudah tidak ada.

Bagaimana dengan kondisi RS Mayapada sendiri setelah lebih dari setahun beroperasi dalam kondisi pandemi?
Kami menguatkan manajemen SDM, sampai saat ini masih seperti yang lalu, pemeriksaan dilakukan pada setiap orang dari zona merah. Kami lakukan PCR 2 minggu sekali. Bukan hanya tenaga kesehatan tapi juga administrasi, ajun, petugas kebersihan, jadi semua staf, untuk memastikan mereka tetap sehat. Sedangkan di luar Zona Merah, kami lakukan PCR sebulan sekali. Kami juga support vitamin dan extra food, itu belum putus dari awal pandemi.

Kalau secara keuangan, kami berterimakasih karena pemerintah tidak lepas tangan. Sehingga, pasien-pasien Kementerian Kesehatan yang masuk ke sini pun, kami tidak bertanya-tanya lagi, langsung kami tangani. Asuransi juga sudah banyak yang mau membayarkan penanganan Covid-19. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan kami tidak terpuruk, karena kombinasinya itu.

Bagaimana dengan kelancaran klaim biaya penanganan Covid-19?
Saya heran kalau ada yang mengatakan tidak lancar, karena kami lancar. Kami ikuti semua aturan dan prosedurnya, kami tek-tokan dan komunikasi dengan pihak BPJS Kesehatan hingga statusnya oke, sampai saat ini lancar.

Bagaimana dengan insentif tenaga kesehatan?
Sama juga, bagus. Insentif tenaga kesehatan ini kan rawan, sensitif, karena kalau sampai ada yang tidak dapat atau ada yang terpapar dan mohon maaf sampai meninggal, ini akan menjadi sesuatu yang wow, bukan main. Perhatian dari pemerintah begitu baik dan pihak RS tidak pernah membiarkan dana itu melewati kita, tapi langsung ke tangan mereka.

Bagaimana dengan aturan bagi dokter dan perawat yang mendapat insentif?
Tergantung dari penugasan mereka, surat keputusan (SK) dan ditempatkan di situ berapa lama, karena kan ada rotasi, mereka bergantian. Karena, kalau mereka di situ terus, lama-lama berisiko juga, karena capai, harus pakai APD selama 8 jam. Jadi mereka harus bergantian, rotasinya 2 minggu sekali, malahan ada yang satu minggu sekali kita rolling dengan teman dari tower 1.

Kami sudah jaga dengan baik, tetap saja ada risiko. Di RS yang justru sering terpapar bukan dari zona merah, karena di sana kan ekstra hati-hati, buka APD hati-hati, masker benar-benar dijaga. Nah kewaspadaan itu juga seharusnya dilakukan mereka di zona nonCovid-19, termasuk ketika makan siang, hindari makan bersama dalam jarak dekat.

Bagaimana dengan fasilitas perawatan yang disediakan RS Mayapada Jakarta Selatan?
Secara umum, jumlah tempat tidur nonCovid-19 sebanyak 108, dokter spesialis kami 250 orang, sedangkan jumlah perawat termasuk tenaga tambahan untuk menangani pasien Covid-19, jumlahnya hampir 400 orang.

Apa saja layanan unggulan RS Mayapada Jakarta Selatan?
Bedah digestif, onkologi, ortopedi, hemodialisa dengan alat haemodiafiltrasi (HDF) kemungkinan baru RSCM dan kami yang memilikinya. Filtrasi HDF betul-betul spesifik, sehingga komponen yang tidak perlu dibuang tidak akan ikut dibuang, sehingga elektrolit pasien, salah satunya, tidak terganggu.

Bagaimana dengan BPJS Kesehatan, apakah RS Mayapada Jakarta Selatan menerima pasien peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
Kami terima pasien BPJS Kesehatan, komposisinya sekitar 20%-30% dari total pasien kami. Sebenarnya kami tidak atur secara spesifik antara pasien BPJS Kesehatan dan yang bukan. Pasien JKN yang mau datang silahkan, selama dokternya ada dan prosedur yang ditempuh pasien benar. Jadi walaupun positioning kita menengah ke atas, bahkan BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) pun kita terima.

Bagaimana dengan klaim ke BPJS Kesehatan?
Saya heran dengan kabar tentang pembayaran klaim yang tidak lancar, karena kami dengan BPJS Kesehatan bagus, tidak ada masalah. Kami patuh regulasi dengan baik, ada beberapa layanan yang belum diterima BPJS Kesehatan, misalnya cath lab, radioterapi. Tapi kami memahami mungkin karena cath lab ada di RS-RS sekitar sini, misalnya RSUP Fatmawati dan RSUD Pasar Minggu.

Bagaimana RS Mayapada mengatur layanan bagi pasien Covid-19 dan umum?
Terutama, di awal pandemi, masyarakat masih panik. Salah satu yang kami lakukan untuk mengembalikan kepercayaan adalah dengan menyatakan bahwa kami memiliki dua tower, untuk layanan Covid-19 ada di tower dua. Selain itu, kami juga menyediakan layanan telekonsultasi, saya kira itu juga bentuk jawaban kami.

Seberapa besar minat pasien beralih ke layanan telekonsultasi?
Masih sekitar 20%, kebanyakan yang menggunakan adalah pasien-pasien kronis, penyakit dalam, neuro, alergi imunologi, osteoarthritis.

Di sejumlah webinar yang diselenggarakan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anda memaparkan bahwa layanan telekonsultasi ini dipersiapkan tim internal, bisa diceritakan?
Kami memang melibatkan tim internal, supaya bisa dikembangkan ala carte, sesuai kebutuhan dan lebih efisien. Jadi inovasi di bidang teknologi informasi yang kita kembangkan tidak langsung jadi, namun bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya saat bikin program jadwal pembedahan, muncul masukan payor harus dimasukkan, lalu kriteria one day care, cito, jadi prosesnya bertumbuh.

Pengembangan yang kami lakukan, saya kira standar, seperti outpatient department (OPD) atau layanan rawat jalan, inpatient department (IPD) atau rawat inap, emergency, back office sampai bergabung dengan korporat, sistem informasi manajemen RS/SIMRS. Mungkin kami masih sedikit berbeda dibandingkan kelompok RS lain yang jumlahnya lebih banyak.

Bagaimana pandangan Anda terhadap kondisi pascapandemi?
Bicara soal Covid-19 saja, kita akan hidup seterusnya dengan korona. Namun, pandemi memang akan berakhir, tapi tidak akan cepat. Sebanyak 50% cakupan vaksinasi saja, itu sudah lebih baik, mungkin 2022 kita akan mencapai herd immunity.

Bagaimana Anda memandang industri layanan kesehatan di masa pandemi serta nanti ketika telah usai?
Sebenarnya dengan pandemi ini, orang-orang yang selama ini melakukan wisata medis ke luar negeri, mungkin terpaksa mengakses layanan di dalam negeri. Mereka kemudian bilang, oh ternyata ada ya layanan ini, oh sekarang sudah tidak perlu ke luar negeri lagi, atau bahka ada yang mengatakan kayaknya lebih canggih di Indonesia. Jadi, dengan adanya pandemi ini, ke depannya kita justru bisa mengundang wisata medis dari luar negeri karena kita mampu.

Layanan ungulan yang kami unggulkan untuk pasien yang sebelumnya berobat di luar negeri atau bahkan bisa mengundang wisata medis, di antaranya bedah digestif, bedah ortopedi, bedah jantung, bedah jantung anak, dan onkologi. Layanan onkologi kami komprehensif, mulai dari diagnosa hingga yang perlu penanganan dengan kemoterapi, radioterapi atau pembedahan. Saya tahu, di luar pun belum tentu lengkap seperti di Indonesia.

Bagaimana Anda memandang positioning RS Mayapada serta banyaknya jumlah RS di Jakarta Selatan?
Yang jelas kami mempertahankan slogan experience better care, pelayanan yang semakin baik, sehingga ini bisa merespons pasien yang sebelumnya berobat ke luar negeri. Di sini, pelayanan dilakukan komprehensif, terintegrasi, sampai pasien pulang pun akan kami tindaklanjuti.

Terkait keberadaan RS-RS lain, saya tidak suka memakai kata kompetitor, tapi sinergi , misalnya saat CT Scan kami rusak, saya akan telepon RS terdekat dan mengirim pasien ke sana.

Berbicara tentang perjalanan karir Anda, bagaimana perjalanan Anda sebagai dokter militer sebelum memimpin RS Mayapada?
Sejak 1987 saya tergabung sebagai dokter tentara karena terikat wajib militer. Saat saya lulus pada 1986, sebenarnya saya sudah jadi dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sulawesi Utara. Tempat saya kuliah itu memang banyak membutuhkan tenaga dosen.

Namun, saat itu masih ada program wajib militer. Dari lulusan FK sebanyak 11 orang, yang ditarik mengikuti wajib militer tujuh orang dan yang akhirnya bergabung 3 orang, termasuk saya, masing-masing di angkatan darat, laut dan udara. Saya bergabung di angkatan udara. Saat itu meski kita bawa surat dari rektor yang menyatakan sudah menjadi dosen, nggak laku. Kami bertiga lanjut terus, berkarir sebagai tentara.

Saya bersyukur karena dipercaya memegang RS sebagai pimpinan RS dari yang kecil mulai di Kendari, Pontianak, hingga kemudian berdasarkan penilaian dari pimpinan, saya disekolahkan menjadi spesialis ortopedi. Setelah selesai, saya menjadi Karumkit atau Kepala RS di Surabaya, Madiun, lalu di Jakarta pegang RS Pusat Angkatan Udara dr. Esnawan Antariksa di Halim, kemudian di Yogyakarta hingga mendapat Bintang Satu. Saya tujuh kali menjadi Karumkit.

Bagaimana perbedaan pendekatan saat memimpin RS militer dengan RS swasta?
Secara manajemen tidak banyak berbeda, hanya pasiennya yang agak berbeda. Di militer sesuai perintah komando, pasien mengikuti saja, mengikuti apa kata dokter. Kalau di RS biasa kan, 5 pasien bisa ada 6 permintaan.

Namun, pada dasarnya semua RS harus dikelola profesional agar medisnya bagus dan finansial juga berjalan. Bukan berarti RS militer tidak ada masalah finansial. Sekarang kan RS pemerintah juga telah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), jadi harus dikelola profesional.

Tahir sebagai pemilik RS Mayapada dikenal sebagai filantropis, bagaimana pengaruhnya pada operasional RS?
Banyak sekali pengaruhnya, seringkali kalau ada pasien yang kurang mampu, kita laporkan ke Pak Tahir, atau beliau yang telepon, “Saya kirim pasien.” Selanjutnya, kami yang tangani, biasanya pasien yang berat-berat.

Walaupun ini RS milik beliau, masalah biaya tetap dibayarkan sehingga kami mengelola pasien seperti biasa. Pasien-pasien dengan kondisi kompleks yang dikirim beliau, biasanya ditangani secara tim, karena kasusnya memang mengharuskan.

Misalnya, pasien dengan kelainan katup jantung atau kasus batu kandung empedu namun karena sudah lama, telah menjadi sepsis atau komplikasi berbahaya akibat infeksi. Sehingga, sepsisnya harus ditangani, empedunya juga harus dikeluarkan, belum jika ada penyakit lainnya, diabetes misalnya.

Masih ada kaitannya dengan pengalaman di RS militer, saat bertugas di sana, RS harus memberikan dukungan kesehatan pada kegiatan latihan perang atau saat ada aktivitas tentara, misalnya di Timor Timur yang saat ini menjadi Timor Leste. Kami harus ikut mendukung juga, mempersiapkan personil dan diri kita.

Itu tidak akan dialami di RS swasta, namun khusus di sini, ketika ada bencana gempa di Sulawesi Tengah, kami ditanya Pak Tahir untuk kesiapan membantu di sana. Saya teringat pengalaman sewaktu di militer yang juga melakukan kegiatan serupa. RS Mayapada melakukan bakti sosial di lokasi bencana selama satu bulan, kami mengirim dokter umum dan beberapa perawat. Saat ini, jika diperlukan melakukan bakti sosial, kami sudah memiliki tim dan SOP-nya.

Bagaimana pandangan Anda terhadap perana PERSI bagi kalangan perumahsakitan?
Menurut saya PERSI ini posisinya sebagai organisasi yang menghimpun RS-RS sangat strategis. RS di Indonesia mungkin sudah ada 3.000-an. PERSI bisa membantu masalah administrasi, juga terkait medis. PERSI juga bisa membantu menertibkan RS-RS, ayo kembali ke jalan yang benar. Apalagi pimpinan PERSI saat ini, yaitu Pak Kun (dr. Kuntjoro Adi Purjanto M.Kes) orangnya halus, sangat persuasif.

Harapan saya, PERSI bisa makin mempersatukan RS yang jumlahnya semakin banyak, di antaranya dengan memilah-milah spesialisasi atau keunggulan masing-masing RS. Sebaiknya layanan unggulan ini diatur supaya RS tidak saling sikut, supaya lebih kompetitif terhadap luar negeri dan di dalam negeri kita kompak.

Harapan Anda terhadap dunia kesehatan nasional?
Terkait SDM kesehatan, saat ini nampaknya sudah diatur organisasi profesi, tapi dalam prakteknya masih berkumpul di satu tempat, di kota-kota besar sehingga bisa terus terjadi Jawa sentris atau Jakarta sentris.

Saya kira sudah bagus pendekatan Presiden Joko Widodo, daerah tertinggal dan terluar disebut terdepan, sehingga menjadi suatu kebanggaan bagi mereka, harus berbenah nih, karena dipercaya. Pendekatan bagi masyarakat di penjuru nusantara sangat penting, agar RS di sana juga berbenah dan masyarakat tidak berobat ke negara tetangga Untuk BPJS Kesehatan, kalau boleh saran sebenarnya untuk yang kelas menengah ke atas karena pengobatan menyedot dana, mungkin bisa disortir mungkin dari pajak yang dibayar sehingga ada cost sharing. Jadi mereka disubsidi, tapi sisanya bayar sendiri atau dengan asuransi swasta. Sementara orang-orang di bawah yang memang kurang beruntung, mendapat full manfaat.

Apakah ada anak Anda yang menjadi dokter?
Anak saya tiga-tiganya dokter, ada yang lulusan Universitas Sam Ratulangi, spesialis ortopedi dari Universitas Airlangga, Surabaya, dan yang ketiga perempuan, spesialis kulit dan kelamin. Istri saya dokter spesialis saraf juga menjadi dosen. (IZn – persi.or.id)