Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI ) meminta Kementerian Kesehatan dan pihak terkait lainnya segera memperjelas regulasi mengenai Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang kini menjadi polemik di kalangan masyarakat dan rumah sakit (RS). Kepastian itu dibutuhkan agar RS bisa segera melakukan persiapan dan menata infrastruktur, serta sumber daya lainnya.
“(Jangan sampai kebijakan ini) menjadi sumber penderitaan (bagi)RS, kalau tidak ada kejelasan. Banyak masalah yang harus dihadapi RS, (di antaranya sistem) klaim yang harus dibetulkan. Misalnya tentang verifikasi yang sering membingungkan RS, kasihan RS makin pusing, kita minta yang pasti-pasti saja,” kata Wakil Ketua 3 PERSI Bidang Kelembagaan dan Kerjasama dr. Koesmedi Priharto, Sp.OT, M.Kes dalam tayangan HOTROOM di Metro TV bertopik Tak Ada Kelas di BPJS yang disiarkan secara langsung pada Rabu, 22 Mei 2024.
Ketika didesak lebih lanjut mengenai pendapatnya tentang dampak penerapan KRIS, dr. Koesmedi menyatakan masih menunggu aturan teknis dan detail regulasi yang ditetapkan pemerintah dan BPJS Kesehatan.
“Wong aturannya belum ada, bagaimana saya bisa menjawabnya?” kata dr. Koesmedi.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D yang juga menjadi narasumber dalam acara tersebut menyatakan penerapan KRIS diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 dan akan dievaluasi hingga batas waktu 30 Juni 2025.
Ghufron menyatakan dampak penerapan KRIS bagi RS dan pasien akan diidentifikasi selama proses evaluasi, begitu pula terkait iuran peserta.
Hadir pula dalam acara tersebut politisi Parta NasDem Irma Suryani Chaniago yang menyatakan bahwa sistem yang selama ini berlaku yaitu kelas 1, 2 dan 3 dalam rawat inap BPJS Kesehatan dinilainya telah cukup baik. Perbaikan yang perlu dilakukan adalah mengatur standar yang diterapkan RS dalam masing-masing kelas.
“BPJS Kesehatan kan azasnya gotong royong dan keadilan. Saya kira KRIS ini (justru) tidak memuat kedua azas ini, mana bisa disebut negara hadir jika kelas 1, 2, dan 3 dihapus, tapi iuran dinaikkan. Rakyat kecil mau bayar dengan apa?” tanya Irma.
Irma juga mempertanyakan jika iuran dinaikkan akibat implementasi KRIS, maka beban negara untuk membiayai anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) juga akan makin besar. “(Untuk itu) kami menunggu kajian akademisnya,” kata Irma.
Sedangkan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menyatakan sistem JKN yang selama ini berlaku telah terbukti membantu masyarakat dan menegakkan azas gotong royong serta membantu RS secara ekonomi.
“Kita menunggu kejelasan lebih lanjut, karena aturan ini sebenarnya juga memberikan dampak yang baik, misalnya memberikan keringanan bagi masyarakat, besaran tunggakan iuran maksimal diturunkan dari Rp30 juta menjadi Rp20 juta, pindah FKTP juga bisa dibawah 3 bulan,” kata Timboel. (IZn – persi.or.id)