Jakarta – Menteri Kesehatan Nila F Moeloek berbicara dalam simposium nasional More Protection, Less Antimicrobial yang diselenggarakan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, Selasa (27/2).
Simposium itu juga diikuti Sedikitnya 800 orang kalangan perumahsakitan serta 47 RS di berbagai daerah melalui Webinar, sehingga mereka pun bisa mengajukan pertanyaan kepada para pembicara.
Nila mengakui, hingga kini langkah Antimicrobial Resistance (AMR) yang dilakukan Indonesia masih terkendala, baik di tingkat tenaga medis maupun rumah sakit (RS) hingga masyarakat.
“Tantangannya adalah masih rendahnya kesadaran individu, profesi dan masyarakat akan potensi dampak sosial dan ekonomi akibat AMR,” kata Nila dalam simposium yang didukung PT Unilever Indonesia itu.
Untuk itu, Nila menegaskan, diperlukan keterlibatan industri farmasi untuk juga turut mengedukasi. Ditemukan juga fakta, jika RS menjadi mitra BPJS Kesehatan, maka penggunaan antibiotik yang berlebihan bisa diminimalisir.
Fakta sebaliknya, pada RS yang menggunakan pembiayaan pribadi dan asuransi swasta. Sistem pembiayaan yang diterapkan BPJS Kesehatan diyakini telah memaksa dokter dan RS menerapkan pendekatan yang rasional dan tak berlebihan dalam pemberian antibiotik.
“Harus diakui, bahwa masih terjadi indikasi ke sana, ada hubungan yang tidak sehat antara tenaga medis dengan pihak farmasi, yang mempengaruhi sistem pemberian resep. Yang dirugikan siapa? Pasien, masyarakat,” ujar Nila yang mengaku akibat praktik menyalahi aturan itu, ia temukan sendiri saat mendampingi Presiden Joko Widodo berdiskusi dengan pasien BPJS Kesehatan di RS yang mereka tinjau langsung.
“Ketika ditanya oleh presiden, apakah dia masih membayar, pasien itu bilang, masih harus beli obat sendiri, ketika ditanya vitamin atau bukan, dia lupa. Tapi artinya, pelanggaran masih ditemui di lapangan,” kata Nila. (IZn – pdpersi.co.id)