Jakarta – Sedikitnya 800 orang kalangan perumahsakitan mengikuti simposium nasional More Protection, Less Antimicrobial yang diselenggarakan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) di Jakarta, Selasa (27/2). Simposim itu juga diikuti 47 RS di berbagai daerah melalui Webinar, sehingga mereka pun bisa mengajukan pertanyaan kepada para pembicara.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) dr. Haru Paraton, SpOG (K) menyatakan, riset terakhir pihaknya menunjukkan kasus resistensi di sejumlah RS di Indonesia menunjukkan angka 60%.
“Artinya, di 60% RS-RS tersebut, kami menemukan bakteri-bakteri yang telah resisten. Kendati WHO menetapkan ada 7 mikroba antiresisten yang perlu diwaspadai, namun, sesuai kondisi Indonesia, kami memutuskan fokus pada dua jenis mikroba yang paling mematikan yaitu E Coli dan Klebsiella Pneumonia,” ujar Hari dalam simposium yang didukung PT Unilever Indonesia itu.
Mengantisipasi temuan yang kembali memvalidasi tingginya kasus resistensi antimikroba di Indonesia, kata Hari, pihaknya telah melakukan pelatihan di RS-RS besar. Diharapkan, pemahaman dan praktik pemberian antibiotik yang bijak itu kemudian akan ditularkan RS itu pada RS-RS disekelilingnya yang mengirimkan pasien rujukan.
“Saat melaporkan ke Menteri Kesehatan, beliau sempat gusar dan bilang apa yang terjadi dengan RS-RS itu? Kami jelaskan, kendati ditemukan di RS besar, namun pasien yang kami teliti adalah rujukan, sehingga kasus resistensi ini berasal dari RS yang lebih kecil,” ujar Hari.
Peringatan senada, juga diungkapkan Dra. Dettie Yuliati, M.Si.,Apt, Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementrian Kesehatan. Ia memperingatkan, jumlah temuan antibiotik baru tidak sebanding dengan kasus antiresistensi. Akibatnya, pasien tidak akan merespon antibiotik yang diresepkan dan mereka pun tidak akan tertolong.
Kabar gembiranya, kata Hari, berbagai upaya pemberian pemahaman pada kalangan medis mulai memperlihatkan hasil. Kalangan kedokteran saraf dan ortopedi, sudah memperlihatkan perubahan perilaku, memberikan antibiotik secara bijak.
“Ada dua RS yang kami latih, terus membaik, dua-duanya dipimpin dokter gigi, apakah memang harus dipimpin oleh seorang dokter gigi agar pemberian antibiotik menjadi lebih baik? Tentunya tidak ya, kami harapkan semua RS bisa mendukung upaya mencegah resistensi antibiotik ini,” kata Hari. (IZn – pdpersi.co.id)