Saya agak terkekeh-kekeh mendengar cara seorang– maaf, kebetulan sudah agak tua — dalam memahami slide yang tercecer dari materi pelatihan yang saya berikan. Slide itu berisi dua gambar. Satu adalah gambar pedangdut legendaris Rhoma Irama dan di sebelahnya ada Ratu ngebor yang pernah top pada awal tahun 2000. Keduanya pernah heboh bertengkar membuat ramai pemberitaan.
Membaca slide itu, kebetulan ia datang sehari setelah saya bicara, ia pun mulai melantur: “Bisnis kita tidak ada hubungannya dengan dangdut!”
Ia tentu benar. Siapa yang bilang bisnisnya terkait dengan dangdut? Namun belakangan saya agak paham, maaf, sudah terlalu banyak orang yang seperti ini. Sensitif, dan ujug-ujug.
Akibatnya: Mereka kesulitan membaca fenomena-fenomena baru. Semua hal baru ditafsirkan “as it is,” dengan kacamata lama.
Faktanya, kedua gambar itu hanyalah sebuah ilustrasi yang menggambarkan tentang pertarungan business model. Bahkan menurut saya, Indonesia beruntung, pernah diberi contoh yang begitu gamblang untuk memahami perubahan yang kini kita sebut sebagai disruption.
Apakah itu model pertarungan dalam industri entertain (royalti vs hiburan), pelayanan kesehatan, transportasi, pendidikan, retail, teknologi ruang angkasa, otomotif maupun energi.
Ya, kita sudah dibukakan mata untuk belajar jauh sebelum digital disruption menjadi fenomena besar yang mampu menggulung perusahaan-perusahaan besar, bahkan bangsa-bangsa besar. Untuk mudahnya saya ajak anda menyimak disruption dalan sektor energy melalui business model yang mengakibatkan harga migas dunia jungkir balik.
Bukan Sekadar Shale Oil
Belakangan ini kita dikejutkan oleh kedatangan Raja Salman dari Saudi ke negri ini. Bagi saya, kunjungan itu sebenarnya juga merupakan simbol dari pertempuran business model.
Anda tahu bukan, bahwa bersama 12 negara anggota OPEC lainnya di masa lalu, Saudi telah menjadi penentu harga minyak dunia.
Dengan membatasi produksi dan kesempatan menetapkan harga, sejak awal abad 20 Saudi dan negara-negara OPEC menikmati harga minyak yang aduhai. Di awal abad 21 saat populasi meledak bertambah satu miliar jiwa untuk setiap 10-12 tahun, harga Minyak mentah pun bergerak naik dari sekitar USD 50 (2004) menjadi USD 120.
Ini benar-benar amat memusingkan presiden SBY yang pro subsidi karena subsidi telah menggerus segala kemampuan pemerintah untuk mengembangkan sektor-sektor lainnya.
Tetapi syukurlah keperkasaan negara-negara anggota OPEC itu hanya bisa bertahan hingga tahun 2013-2014.
Kekuatan membentuk harga itu tiba-tiba rontok, dengan hadirnya tiga kekuatan baru: Rusia, Amerika Serikat dan China. Rusia menjadi pemasok migas yang sama besarnya dengan negara-negara OPEC dan terus meningkatkan produksinya membanjiri pasar migas dunia.
Rusia menjadi pengacau bagi OPEC dan Saudi
Amerika sendiri memilih untuk membuka keran produksi dari teknologi fracking yang selama ini dilarang karena menimbulkan dampak kerusakan lingkungan. Teknologi fracking inilah yang menghasilkan shale gas dan shale oil.
Pasokan berlebih dari dua negara raksasa itu saja sudah cukup mengguncang dunia, sehingga perlahan-lahan harga minyak dunia turun kembali ke bawah USD 100, bahkan hingga menyentuh USD 50 saat ini.
Tetapi yang membuat harga minyak mentah itu turun bukan hanya itu. Ada Negara lain yang bertarung dengan business model lain. Dan Negara itu bukanlah negri produsen, melainkan konsumen terbesar:
Tiongkok
Apa yang dilakukan Tiongkok benar-benar membuat dunia energy disrupted. Tiongkok dengan caranya sendiri, sejak sepuluh tahun yang silam diam-diam sudah membangun kerjasama dengan Negara-negara miskin pemilik tambang di manca Negara, khususnya di Benua Afrika.
Tiongkok membangun infrastruktur besar-besaran: Pelabuhan, Jalan, Penerangan dan sebagainya. Setelah itu Tiongkok berhasil menguasai konsesi-konsesi tambang migas di hampir semua negara Afrika dan membawanya pulang.
Akibatnya pasokan migas dunia semakin berlimpah dewasa ini, meski Saudi Arabia masih menjadi produsen yang besar (9 juta barel/hari), dan bukan lagi yang terbesar. Amerika Serikat (11 juta barel per hari) dan Rusia (10 juta barel per hari).
Demikianlah, dengan business model yang berbeda. Tiongkok tengah membangun pabrik semen, baja, otomotif, kereta api, permesinan, pupuk dan sebagainya dengan standar kelas dunia yang membuat industri-industri itu terdisrupsi di sini.
Pelabuhan-pelabuhan besar tengah dibangun Tiongkok di manca negara, dari Srilanka, Indonesia, Vietnam sampai ke Negara-negara eks Uni Soviet.
Selain itu, karena pupuk berhubungan dengan gas, maka kini industri pupuk kita pun tengah memasuki gejala disruption. Apa akibatnya?
Ya, kemampuan branding atau mengkomando harga premium hilang sudah, incumbents pun jungkir balik dan dituntut melakukan self disruption, atau ia akan punah sekalian dan berteriak-teriak di depan istana meminta perlindungan atas jumlah tenaga kerja yang akan kehilangan job dalam waktu dekat.
Jadi Bagaimana Si Ratu Ngebor?
Kembali pada orangtua yang mempersoalkan slide saya tadi, sebenarnya sederhana sekali baginya kalau ia mau memahami business model. Cukup terbuka, mau belajar. Business model adalah cara manusia, perusahaan, daerah atau negara dalam mencari uang, dalam melakukan pengembangan usaha. Itu saja.
Rhoma Irama, sang legendaris, popular karena lagu-lagu ciptaannya, lirik dan musiknya, serta kualitas suara. Pada masanya, begitulah model bisnis dalam industri musik. Kalau tak bisa mencipta lagu sendiri, seorang artis harus punya hubungan yang dekat dengan pencipta lagu untuk masuk ke dapur rekaman, lalu meraih Golden Record, dan mendapatkan royalty.
Muncul di televisi, saat itu, bukanlah penghasilan yang penting bagi para musisi. Televisi di masa lalu membayar artis seadanya, karena bagi artis, pemunculan di televisi adalah promosi. Keadaan itu berbeda benar dengan sekarang.
Dan bagi saya, pertempuran antara keduanya (Rhoma vs Inul) yang heboh antara tahun 2003-2004 mengawali pertempuran antarbisnis model dalam industri ini. Saat itu, dunia tengah bergeser menuju digital disruption yang mengakibatkan toko-toko kaset (CD) terpaksa ditutup dan para musisi bolak-balik ke gedung DPR meminta perlindungan dari pembajakan.
Inul di sisi lain tak mempunyai akar dalam menciptakan lagu. Ia hanya bisa menari eksotis. Alih-alih bertarung dalam Golden Record, Inul memfokuskan dirinya dalam panggung hiburan dan membiarkan rekamannya diperjualbelikan secara bebas tanpa royalty.
Business Model Inul Daratista adalah panggung hiburan, persis seperti apa yang dilakukan artis-artis tenar dunia hari ini melalui panggung Youtube.
Jadi, dengan segala hormat, mari kita buka mata bahwa hari ini negara-negara sekalipun tengah bertarung melalui business model.
Bukan soal mengajarkan Anda bahwa perusahaan berhubungan dengan dangdut atau goyang ngebor.
Hari Selasa kemarin dalam Rakornas Pariwisata, Saya pun menyatakan hal serupa bagi industri ini di era disruption. Dalam industri pariwisata pertarungan antarbangsa ini akan sarat dengan business model.
Saya senang karena Indonesia diberi menteri Pariwisata yang paham betul makna digital disruption. Maka itu lah Menteri Arif Yahya mempunyai program 100.000 homestay sebagai wujud pelaksanaan sharing economy.
Jadi sekali lagi, harap maklum, persaingan abad ini sudah bukan lagi antar-merek seperti yang santer kita saksikan di abad lalu antara Coke vs Pepsi, atau antara Kacang Garuda vs Dua Kelinci. Melainkan pertarungan antara Business Model itu.
Silakan direnungkan untuk menghadapi masa-masa sulit di era disruption ini. Saya tentu dengan senang hati menerima Anda untuk berdiskusi di Rumah Perubahan. Selamat bertarung.
Oleh: Rhenald kasali (@rhenald_kasali)